Friday 15 January 2016

Do'a yang Termasuk Dalam Bid’ah

Kaitannya dengan pembahasan tawassul, ada yang mesti dipahami yaitu tentang do’a-do’a yang dihukumi bid’ah. Tingkatannya sebagai berikut sebagaimana disebutkan oleh Ibnu Taimiyah:

1.  Berdo’a pada selain Allah. 
Berdod'a yang ditujukan do’a itu kepada selain Allah SWT, baik yang diminta adalah para Nabi, orang shalih atau selain mereka. Misalnya ada yang berdo’a: “Wahai sayyid fulan, selamatkanlah aku” atau “Wahai pak Kyai, aku meminta perlindungan pada-Mu” atau “Wahai orang shalih, aku meminta pertolongan padamu” atau “Wahai fulan, aku beristighotsah denganmu”. Yang lebih dari itu jika ia meminta “Wahai wali, ampunilah aku dan terimalah taubatku”. Seperti ini dilakukan oleh orang-orang musyrik yang tak punya dasar ilmu.

Tindakan yang lebih tidak pantas lagi jika sampai sujud pada kubur wali, shalat menghadap kuburnya, bahkan menganggap shalat menghadap kubur tersebut lebih utama daripada shalat menghadap kiblat. Sampai-sampai disebut adanya keyakinnan bahwa shalat menghadap kubur adalah menghadap kiblat yang khusus, sedangkan shalat menghadap Ka’bah adalah kiblatnya orang-orang awam.

Semua yang dicontohkan dalam bentuk pertama ini adalah kesyirikan, walau kebanyakan orang melakukan sebagian ritual di atas.

2. Meminta pada para Nabi atau orang shalih yang telah tiada (mayit) atau yang tidak hadir (ghaib) untuk mendo'akan kita.
Cara berdoa seperti ini biasanya dilakukan dengan berkata, “Berdo’alah pada Allah untukku” atau “Berdo’alah pada Rabbmu untuk kami”. Perbuatan ini tidak diragukan oleh orang yang paham bahwa hal itu tidak dibolehkan. Amalan tersebut termasuk bid’ah yang tak pernah diajarkan oleh generasi terdahulu dari umat ini.

Intinya, tidak boleh meminta pada mayit seperti itu untuk menyampaikan do’a kita pada Allah atau mengadu tentang kesusahan dunia dan akhirat pada Allah yang disampaikan lewat mayit, walau ketika ia hidup dibolehkan. Saat orang shalih itu hidup, kita boleh meminta padanya untuk berdo’a pada Allah untuk kebaikan kita. Itu saat ia hidup karena seperti itu tidak mengantarkan pada kesyirikan. Namun saat ia telah tiada, berubah sebagai perantara pada kesyirikan. Ketika dulu hidup, orang shalih itu adalah seorangmukallaf (dibebani syari’at) dan bisa menjawab permintaan orang yang meminta. Kalau ia berdo’a pada Allah untuk kebaikan yang meminta, maka akan berpahala. Sedangkan ketika sudah tiada, maka ia bukan seorang mukallaf seperti tadi.

3.  Meminta dengan hak atau kedudukan (jaah) orang shalih
Hal ini termasuk yang dilarang dan sudah disebutkan pendapat dari Abu Hanifah, Abu Yusuf dan lainnya tentang masalah ini. Perbuatan semacam ini tidaklah masyhur di kalangan para sahabat. Buktinya, para sahabat tidak berdo’a dengan kedudukan (jaah) Nabinya yang mulia, namun kala sulit mereka bertawassul dengan ‘Abbas bin ‘Abdul Muthollib yang masih hidup. (Diringkas dari Qo’idah Jalilah fit Tawassul wal Wasilah, hal. 226-231)

Demikianlah penjelasan singkat tentang do'a yang temasuk bid'ah. Semoga bermanfaat.

No comments:

Post a Comment